Kamis, 10 November 2016

Kakiku yang Patah, Bukan Hatiku

Kulihat di sekeliling kamarku yang penuh dengan aneka lukisan di tembok bagian kiri, bersama gambar yang di ambil pada beberapa momen penting disana. Rak piala di sebelah kanan pintu kamar serta meja belajarku yang tidak pernah rapi, hehe. Kulihat satu persatu piala yang selama ini terpampang rapi di dalam rak di samping lemari bajuku. Semua mengingatkanku pada satu hal, mimpi terbesarku meraih mendali emas untuk bidang olahraga karate. Kuperhatikan baju karateku yang lusuh ini, serta sabuk hitamku yang baru kudapatkan 2 tahun lalu. Terakhir ku pakai, hmm sekitar 7 bulan lalu setelah pertandingan itu membuatku cidera di bagian kaki yang mengharuskanku memakai gips ini.

"Sya, makan dulu nak.." ucap ibuku di balik pintu kamarku,

"oh iya bu, masuk aja." jawabku sambil duduk di kursi belajarku.

"anak ibu lagi apa, sayang?"

"Rassya lagi liat-liat mendali Rassya bu. Masih mau ikut kumite bulan depan deh bu"

"Sayang, kakimu itu bengkak nak. Kamu masih harus istirahat, nih abisin dulu makannya"

"Ibu mau kemana? Rassya gak mau sendirian di kamar"

"Ibu udah tiga hari gak kerja sayang, nanti ibu suruh Dika temenin kamu ya" jawab ibu sambil mencium keningku. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Dika, kekasihku karena dia juga sedang mempersiapkan tanding basket se-provinsi, dan aku?

Biasanya aku dan Dika sering banget adu semangat, dan biasanya kami janji kalo aku bisa dapet mendali emas Dika akan mengajakku entah kemana. Yang pasti, Dika selalu mengejutkanku disaat aku telah meraih mendali emasku. Bahkan oleh-oleh cidera pun ia menemaniku sampai sebulan lebih dirumah, kalau tidak aku paksa dia untuk latihan terus mungkin dia ada disini sekarang.

"Hah? Dika kok nelpon ya, pasti ibu deh yang abis nemuin Dika di kampus trus dika khawatir, trus Dika nelpon aku. Ah ibu" gumamku saking pedenya dika khawatir kepadaku, hihi.

"Halo Dika.."

"Hai cantik, kamu udah abis makannya?"

"Ih apadeh kamu, udah latihan aja yang bener"

"Iya, tadi ibumu kesini nemuin aku. Aku jadi makin rindu"

"Dika,.."

"Iya sayangku?"

"Rassya juga kangen banget sama Dika, sampe ketemu di final. Rassya cuma mau ketemu Dika kalo Dika masuk final"

"Aku gak bisa Sya.."

"Hah? Gak bisa apa Dik?"

"Gak bisa nunggu waktu selama itu, hehe. Tapi aku janji sama kamu aku akan ngebawa tim ku menuju final"

"Sayang Dika.."

Tak sabar aku menunggu hari itu. Lalu, aku mulai makan dan menghabiskan makananku. Setelah itu, aku kembali membuka buku matakuliahku yang sudah satu semester aku tidak kuliah, ah membosankan. Tapi nanti juga biasanya teman-temanku datang untuk mengajariku di rumah, jadi aku masih bisa sedikit mengerti apa yang mereka pelajari di semester tiga ini.

Aku juga terobsesi menjadi seorang penyanyi, penuls serta aktor, hehehe. Aku memang banyak mimpi, banyak mau. Tapi untungnya aku bisa menyelesaikan mimpi-mimpiku. Sejujurnya aku adalah seorang kimiawan, aku cinta dengan ilmu itu, tapi aku malah masuk jurusan komunikasi hehe. Gak apa-apa aku salah jurusan, asal bisa tetep latihan. hihi.

Aku mulai melangkahkan kakiku perlahan di kamar, memang sulit, tapi harus kucoba. Aku keluar kamar memakai kursi roda ku dan meminta si mbak untuk turun ke taman.

"Tapi Non Rassya kan sakit, nanti aja ya non sama ibu"

"Tolongin Rassya mbak, Rassya mau jalan ke halaman aja deh"

Dan akhirnya aku keluar, di halaman depan rumah aku latihan jalan di kebun ibu, ya isinya cuma tanaman hias sama kolam ikan sih hehe, tapi tetap saja aku menyebutnya kebun. Lalu, gak lama kakiku mulai terbiasa untuk jalan, gak lama aku mendengar bunyi bel dan ternyata teman-temanku datang.

"Hei gingsul gimana kakinya?" Tanya Elena, sahabat SMA-ku. Aku sering dipanggil gingsul karena gigiku.

"Baik, kalian abis jalan ya? Kok tumben pada ngumpul" Ejekku, karena memang sulit sekali sahabat-sahabat SMA ku ini kumpul.

"Iyalah kan mau jenguk bidadarinya Dika, hahaha" Jawab Karina

"Ini ada titipan dari aa" Sanggah Elen, Aa yang dia maksud adalah Dika, emang Elen suka manggil orang sembarangan.

"Loh, kalian ketemu dulu sama Dika?" tanyaku iri

"di depan rumah tadi juga ketemunya, kan Dika duluan yang mencet bel"  Jelas Elen.

Akupun langsung diam menanggapinya. Dika ternyata memang dekat, seperti yang selalu ia ucapkan kepadaku, "aku selalu dekat kamu, kamu rindu pasti aku datang."  Aku benar-benar rindu Dika, lalu Elen memberi ponselnya yang terhubung langsung dengan Dika.

"Halo, gimana len dia suka?" tanya Dika langsung ketika angkat telponnya dari Elen.

"Suka banget Dika" Jawabku

"Eh kamu, yang sabar ya sayang. peluk aja bonekanya kalo kangen aku"

"Dik, kenapa sih dik.." Suaraku mulai tak kuasa menahan tangis, dan seketika teman-temanku memelukku.

"Sya, kamu nangis?"

Akupun terdiam, tak berani menjawab. Hampir enam bulan kami tidak bertemu, terasa lama sekali. Empat tahun kami pacaran tidak pernah selama ini kami jauh dan tidak saling bertemu selain karena tanding.


To be continued...............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar