Minggu, 05 Februari 2017

Mengikhlaskanmu

bunyi gantungan kunci pada ranselku menemani langkah pagiku menuju tempat ku belajar.
sepi, tanmpamu. hanya sunyi yang menemaniku. namun, aku harus bisa menahan diri. aku harus tau diri, karena aku tak pantas bagimu. kamu memberiku banyak pelajaran selama sebulan ini, terimakasih.

pagi ini ku ditemani oleh lagu yang membuat pagiku semakin sepi,

Aku mengenal dikauTak cukup lama separuh usia kuNamun begitu banyak..pelajaranYang aku terima
Kau membuatku mengerti hidup iniKita terlahir bagai selembar kertas putihTinggal kulukis dengan tinta pesan damaiKan terwujud Harmony
Segala kebaikan..Takkan terhapus oleh kepahitanKulapangkan resah jiwa..Karna kupercaya..Kan berujung indah

Kufikir ini semua telah berakhir, Kufikir engkau telah hilang bersama bayang-bayang masalalu.


"Ndah ikut Seminar Keorganisasian yuk" Ajak ketua umum Komunitas Kepemimpinan kepadaku saat itu yang hanya fokus kepada kuliahku.

Ragu, namun ku merasa tidak pernah hadir disetiap kegiatannya lalu kumemutuskan sesekali ikut agenda ini yang berlangsung sekitar 3 hari.

Hari-hari dilalui dengan segala materi, Namun, pada suatu materi yang membuatku 'eye catching' dan menarik yaitu seputar bagaimana kita menyampaikan pendapat dengan demonstrasi.

Day by day past so fast, Aku kuliah seperti biasa namun pembicara yang aku kira sudah menikah bahkan punya anak dia masih kuliah di kampusku (kampus swasta yang terkenal di kota ku).

Saat itu aku berjalan bersama kedua temanku yang sangat aktif di organisasi ini. Akupun menyapa senior itu saat mengisi materi ketika seminar dan memberanikan diri meski hanya untuk sekedar basa-basi.

"Bang inget saya gak?" tanyaku
"Inget kok, Indah kan?" Jawabnya
"Iya bang hehe"
"Lagi ngapain di kampus?"
"Baru pulang kuliah bang"

Dan kemudian aku dan kedua temanku, Sari dan Nur kami pergi untuk nongkrong di gang samping kampus kami.


Kamis, 19 Januari 2017

Luka


Dia bilang dia sayang

“hai ra, gimana kabar kamu?”

Itu pesan pertama yg aku dapat setelah beberapa minggu kita tidak bertemu. Berbeda, ya aku masih sangat takut terhadap sakit hati. Sakit yang menyebabkan aku tidak bisa lupa sejak 4 tahun silam. Karena ke gagalanku menikah dengan seorang pria. Pria itu, yang dapat membuatku jatuh hati untuk pertama kalinya.

Aku harus balas apa? Sudah 2 hari pesan itu ku endapkan dalam handphone ku, hanya untuk menjaga bagian dari diriku, hati. Karena ia begitu sensitif terhadap suatu goresan. Goresan apapun itu. Dan kemudian aku memutuskan untuk membalas dengan keadaan yang biasa saja. Karena aku tau, tiap orang berhak untuk berteman dengan siapapun termasuk kami. Lalu, kujawab

“hai juga han, aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”

“kemana saja? Aku khawatir.”

Air mata berbalap-balapan membasahi pipi. Mataku sudah mulai membengkak. Kenangan itu selalu datang mencambuk-cambuk perasaanku, aku harus apa? Berlari ataukah terus diam membeku? Atau bahkan harus ikut berjalan bersamanya, mengikuti alur permainannya yang baru?

Dia bilang dulu dia sayang, tapi mengapa aku terluka bersamanya? Mengapa ia pergi membuatku terkoyak oleh rasa sepiku sendiri yang dibuat olehnya.

Air mata kala itu, genggaman terakhir, ciuman hangat waktu itu dan pelukan terindah waktu itu menjadi kata perpisahan di sabtu senja selepas kepergiannya menuju tanah kelahirannya. Akupun tak mengerti apa yang akan dia lakukan lagi selepas ia pergi, lalu hadir kembali?

Dia bilang dia sayang, dia peduli, dia tak akan menyakiti, dia akan melindungiku, tapi mengapa ia menjadi mawar berduri? Disaat keindahannya baru saja aku yakini, ternyata ia menusukku. Pertemuan itu, kini tak lagi ada setelah kami memutuskan untuk berpisah. Lagi.. apakah aku terlalu bodoh untuk mempercayainya setelah aku terluka karena satu pria lalu menerima pria lain yang awalnya kuyakini ia sebagai penyembuh luka?

Burhan, aku begitu mencintaimu sebelum aku tau bahwa kamu memilihku sebagai pelarianmu. Aku tak menyangka bahwa kamu akan sekeji ini terhadapku.